*Bila Media Bungkam, Medsos Bicara*
Penyalahgunaan UU ITE sangat membatasi kebebasan para pembela lingkungan dan HAM. UU ITE ini terlalu bias dan sering dijadikan alat untuk mengekang ruang sipil, membatasi orang untuk berpendapat di media. Ini jelas melanggar hak kebebasan berpendapat dan mendapatkan informasi. Dari pengalaman saya dan teman-teman, apapun yang ditulis, sehalus apapun, bisa digunakan untuk menyerang si penulis | Daniel Frits Maurits Tangkilisan
Kasus Daniel Frits Maurits Tangkilisan adalah contoh menarik yang menggambarkan kompleksitas penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) di Indonesia, khususnya terkait kebebasan berekspresi dan perlindungan aktivis lingkungan.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 105/PUU-XXII/2024, yang menyatakan kritik di media sosial terhadap badan publik tidak dapat dikriminalisasi melalui UU ITE. Belatar belakang dari uji materi yang diajukan Daniel Frits Maurits Tangkilisan pada April-Mei 2025. Membatasi pasal “karet” pencemaran nama baik (Pasal 27A) dan berita bohong agar tidak menekan kebebasan berpendapat.
Dengan putusan, MK Nomor 105/PUU-XXII/2024 dampaknya: melindungi warga dari represi digital, memungkinkan perdebatan online tanpa takut pidana, dan mendorong diskusi publik yang lebih terbuka berdasarkan prinsip konstitusional kebebasan berekspresi.
Latar Belakang Kasus
Daniel adalah seorang aktivis lingkungan yang tergabung dalam Koalisi Kawal Indonesia Lestari (Kawali). Ia dikenal karena advokasinya melawan praktik ilegal, khususnya penambakan tambak udang di Taman Nasional Karimunjawa, sebuah kawasan konservasi di Jawa Tengah.
Pada Februari 2024, Daniel memposting kritik di media sosial (Facebook) terkait aktivitas penambakan tambak udang ilegal di Karimunjawa. Dalam postingannya, ia menggunakan istilah “shrimp brain community” (red-komunitas otak udang) untuk menggambarkan kelompok yang mendukung atau terlibat dalam kegiatan tersebut. Kritik ini ditujukan untuk menyoroti kerusakan lingkungan akibat aktivitas tersebut di kawasan yang dilindungi. Sayangnya, komentarnya berujung pada gugatan hukum!
Proses Hukum Awal
Pada April 2024, Pengadilan Negeri Jepara di Jawa Tengah menjatuhkan vonis tujuh bulan penjara kepada Daniel berdasarkan Pasal 28 ayat (2) UU ITE, yang mengatur tentang pencemaran nama baik dan ujaran kebencian. Hakim memutuskan bahwa pernyataannya dianggap memicu kebencian berdasarkan etnis, agama, dan ras (SARA), meskipun fokusnya adalah isu lingkungan.
Putusan ini memicu protes dari pendukung Daniel, termasuk organisasi seperti SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network) dan aktivis hak asasi manusia. Mereka menganggap vonis ini sebagai bentuk kriminalisasi yang menekan kebebasan berekspresi.
Pengacara Daniel, termasuk dari Public Interest Lawyer Network (Pil-Net) Indonesia, mempertanyakan kualitas penyelidikan polisi dan meminta hakim memeriksa proses penyidikan. Namun, pada tahap awal, pengadilan tetap memihak pada tuduhan.
Pengembangan Kasus
Pada Mei 2024, Pengadilan Tinggi Semarang membatalkan putusan Jepara melalui putusan banding pada 21 Mei 2024. Daniel akhirnya dibebaskan dari tuduhan ujaran kebencian, dengan alasan bahwa kritiknya terhadap aktivitas ilegal tidak dapat dikategorikan sebagai kebencian berdasarkan SARA.
Tidak puas dengan pengalaman kriminalisasinya, Daniel mengajukan uji materiil terhadap UU ITE ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan nomor perkara 105/PUU-XXII/2024. Sidang pendahuluan digelar pada 26 Agustus 2024, dan proses ini berlanjut hingga April-Mei 2025. Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa kritik terhadap badan publik di media sosial tidak dapat dikriminalisasi di bawah Pasal 27A dan pasal terkait lainnya, dengan alasan melindungi kebebasan berpendapat yang dijamin UUD 1945.
Dampak dan Relevansi
Putusan MK ini membatasi penerapan “pasal karet” dalam UU ITE, yang kerap disalahgunakan untuk menekan aktivis, jurnalis, dan warga biasa. Kasus Daniel menjadi preseden penting dalam menjaga ruang demokrasi digital.
Meskipun bebas, Daniel terus mengadvokasi perlindungan Karimunjawa dan menggugat pasal-pasal UU ITE yang masih rentan disalahgunakan. Ia juga menjadi simbol perlawanan terhadap kriminalisasi aktivis lingkungan di Indonesia.(*)
Editor : MR Masjudin









