
Lampung Selatan, BP
Senin siang (30/12/2024), suara eskavator yang memecah keheningan kebun kelapa sawit PTPN I Regional 7 di pinggir Dusun Kampung Baru, Desa Sidosari, Kecamatan Natar, Lampung Selatan. Deru alat berat itu sebenarnya biasa saja, tetapi tidak bagi Suplensi (56). Dadanya berdegub kencang, jantungnya mengatur otak untuk berpikir, lalu tubuhnya bergagas mengejar sumber suara.
“Waktu kedengaran suara alat berat, saya langsung curiga kalau bongkaran jadi. Saya langsung ngeliat ke bawah (arah jalan masuk ke lokasi). Benar saja, banyak btantara dan polisi. Mereka memasang portal dan membuat tenda besar. Sejak itu saya pasrah,” kata dia.
Di rumah berdinding bata merah, lantai semen, tikar beralas, Seplensi didampingi istri, dan salah satu tetangganya bercerita Panjang lebar tentang perjalanan dan drama okupasi yang mereka jalankan. Ia menggambarkan situasi dan berbagai kejadian secara kronologis dengan cukup lancar. Hal itu menjadi penanda setiap peristiwa yang terjadi sangat melekat dalam ingatan dan tersimpan di memori otaknya.
Kedatangan beberapa alat berat dan aparat keamanan ke komplek organisasi baru yang diberi nama Pelita Baru itu bukan membuat Suplensi dan semua yang tinggal di tempat tidur nyenyak. Mereka hanya tidak mampu memejamkan mata dengan sempurna. Sebagian besar mereka berpikir besok akan memilih opsi apa ketika Pengadilan meresmikan putusan hukum yang memenangkan PTPN I Regional 7.
Selasa (31/12/2024), hari yang dijanjikan datang. Rombongan besar masuk lokasi secara bergelombang sejak matahari mulai menyembul. Tepat pukul 9.00, Panitera dari Pengadilan Negeri Kalianda membacakan eksekusi eksekusi riil atas lahan seluas 75 hektare milik PTPN I Regional 7. Sejak saat itu, PN menyatakan lahan yang merupakan bagian dari HGU No.16 Tahun 1997 itu Kembali ke pangkuan PTPN I Regional 7.
Ada beberapa episode drama dalam pelaksanaan eksekusi nyata hari itu. Namun semua tahapan hukum dapat dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Secara sah, pihak PTPN I Regional 7 diberi hak yuridis oleh Pengadilan untuk mengizinkan dan memanfaatkan lahan itu tanpa syarat.
Seiring Keputusan hukum itu, Suplensi yang memang sudah cukup lama menyadari bahwa dirinya telah menguasai lahan yang bukan haknya. Dia difasilitasi Pokdar Kamtibmas Lampung kemudian pasrah kepada aturan hukum dan menyerahkan mekanisme seluruh eksekusi yang akan dilakukan oleh pemilik sah lahan tersebut.
“Saya pasrah. Saya serahkan nasib saya ke aturan hukum yang berlaku. Cuman, saya juga memohon kepada PTP (PTPN I Regional 7) untuk membantu kami karena ternyata kami adalah korban penipuan. Kami sampai di sini karena percaya janji-janji palsu yang mengatakan ini adalah lahan negara dan dihibikan untuk orang-orang miskin,” kata Febri kepada beberapa wartawan yang mewawancarai di hari eksekusi itu.
Kisah janji hibah palsu itu menceritakan Seplensi dengan lancar.
Pada tahun 2020, saat mulai pendemi Covid-19, ia bersama istrinya beraktivitas seperti biasa, yakni membuka warung makan emperan di bilangan Kotabaru, Bandar Lampung. Saat itu, Indonesia, bahkan dunia sedang dilanda teror Covid-19 yang meluluh lantakkan sendi-sendi kehidupan. Terlebih lagi, cuaca pada perekonomian Seplensi tidak hanya mendung, tetapi gelap.
“Saat kopet (Covid-19) itu kami bangkrut, lah. Dagang nggak laku, modal abis, cari uang susahnya bukan main. Nah, saat itu ada pembeli yang makan di warung kami. Mereka ngajak ngobrol dan menawari saya tanah hibah dari pemerintah untuk rakyat miskin. Nah, laju ini,” kata dia.
Seplensi mengidentifikasi dua orang yang memberi angin sorga palsu itu adalah Pulan (dia menyebut nama tokoh okupan yang sudah meninggal dunia) bersama temannya. Rayuan itu masuk ke dalam pikiran Febri dan istrinya yang kemudian membawanya terdampar di lahan yang kini sudah rata dengan tanah ini.
“Sebenarnya saya sudah lama menyadari bahwa tanah ini adalah tanah negara. Tetapi waktu itu kami terus menjanjikan tetap aman. Terlebih lagi saat kami dibuatkan sporadik, jadilah kami bangun permanen rumah ini. Tetapi sekarang sudah selesai. Kami terima apa yang menjadi Nasib kami,” kata dia.
Hal senada disampaikan Tomi, lelaki asal Way Kanan yang juga tergiur oleh rayuan adanya tanah hibah. Cerita Tomi tak kurang miris. Pada episode perjuangannya tinggal di belukar kebun sawit ini, dari pungutan berdalih hibah tetapi dibayar hingga diusir paksa dari rumahnya oleh oknum LSM yang pernah dia rasakan.
“Saya kan dari Way Kanan, terus pindah ke Kotabumi. Terus, dapat informasi ada tanah hibah murah disini. Saya percaya karena ada adik sepupu saya juga sudah masuk. Waktu itu saya harus membayar Rp3 juta. Terus, untuk nebus sporadik Rp1,5 juta. Terus, saya sewa lahan untuk tanam jagung Rp4 juta. Tetapi, pas lahan sudah saya bersihkan, diambil lagi sama mereka,” kata dia sambil menahan emosi.
Kisah-kisah sejenis dari perjalanan para okupan sampai bisa terperosok rayuan para mafia tanah ini masih panjang dan datang dari hampir semua orang. Sebagian besar mengaku terpompa keberaniannya mengambil risiko besar karena tampilnya beberapa tokoh yang lebih dulu membangun rumah permanen. Termasuk adanya beberapa fasilitas umum, termasuk masjid yang didirikan oleh para mafia tanah untuk memperkuat rasa percaya dirinya.
“Sebenarnya saya sangat ragu diawal. Tetapi melihat sudah ada rumah-rumah bagus, sudah ada sporadik, bahkan ada masjid. Orang-orang yang sudah tinggal di dalam juga bukan orang sembarangan. Ada mantan Kasatpol PP, ada perawat, ada tokoh Masyarakat, dan lainnya. Makanya kami berani,” kata okupan yang tidak mau disebut namanya.
Meski cerita sedih itu tergelar vulgar, ternyata masih ada sedikit rasa syukur dari para okupan. Mereka menyatakan terima kasih kepada PTPN I Regional 7 yang mematuhi putusan hukum dengan pendekatan humanis. Ada yang mengucap; “Kalau di tempat lain, kami pasti habis.”
Kalimat itu menguraikan kebijakan PTPN I Regional 7 yang berempati dan bertindak dengan melihat posisi para okupan. Region Head PTPN I Regional 7 Tuhu Bangun menyebut, beberapa kebijaksanaan yang dilakukan oleh Perusahaan sama sekali bukan kewajiban hukum. Secara hukum, kata dia, tidak memiliki kewajiban untuk memberikan bantuan apapun kepada pihak yang menguasai lahan Perusahaan.
“Secara hukum tidak ada kewajiban kami untuk berbagai kebijakan itu. Secara hukum eksekusi eksekusi ini tanpa syarat. Tetapi karena rasa kemanusiaan, kami memberikan beberapa kebijaksanaan itu,” kata dia.
Mengenai kebijaksanaan yang dimaksud, Tuhu Bangun menyebutkan beberapa poin. Yakni, memberikan uang sewa untuk tempat tinggal sementara maksimal Rp1 juta per keluarga, memberi bantuan tukang untuk membongkar bangunan, menyediakan armada truk untuk mengangkut bahan bangunan yang dibongkar.
Lalu, kepada okupan yang sudah sempat menanam tanaman semusim di lahan yang diokupasi, Perusahaan memberi kesempatan waktu untuk merawat hingga tanaman panen maksimal satu musim. Kepada okupan yang ingin bekerja sebagai penyadap karet atau pemanen kelapa sawit, Perusahaan bersedia merekrut untuk bekerja di beberapa kebun.
“Atas nama manajemen, saya menyampaikan terima kasih kepada semua pihak, terutama saudara-saaudara kami yang sempat menduduki lahan ini, yang kemudian dengan sukarela keluar demi hukum. Juga kepada Pemkab Lampung Selatan, Polres Lampung Selatan dan Polda Lampung, jajaran TNI, Satpol PP, dan semua pihak sehingga penegakan hukum ini bisa terlaksana dengan baik,” ujarnya. (tk/rls)