Sebuah ruangan penuh kader muda yang gelisah, haus akan inspirasi, tiba-tiba terdiam hanya dengan suara lembut seorang pria berusia 60-an. Bukan sulap, bukan sihir—hanya kekuatan kata-kata dari Tony Eka Candra, tokoh senior Partai Golkar Lampung, yang mampu ‘menghipnotis’ puluhan peserta Diklat Kader Muda. Apa rahasia di balik kharismanya? Jawabannya sederhana: Sejarah pahit yang selamat dari badai, dan pelajaran abadi tentang kerendahan-hati
Di era politik yang penuh gimmick, Tony membuktikan bahwa kepemimpinan sejati lahir dari hati, bukan dari kursi kekuasaan!
Pada Minggu, 2 November 2025, Aula DPD Golkar Lampung di Bandar Lampung menjadi saksi bisu momen itu. Di hadapan puluhan kader pemula—mereka yang baru saja bergabung dengan partai beringin ikonik ini—Tony Eka Candra tampil sebagai pembicara utama. Suaranya yang tenang, seperti angin sepoi-sepoi di tengah panasnya Lampung Selatan, langsung meredam kegelisahan peserta. “Ini bukan sekadar kuliah sejarah,” bisik salah seorang peserta di sela-sela acara, “ini seperti mendengar kisah survival partai dari mulutnya sendiri. “Materi yang disampaikan Tony bukanlah hafalan kering tentang tanggal dan nama. Ia membuka lembaran hitam sejarah Golkar sejak berdirinya pada 1964, saat partai ini lahir di tengah gejolak politik pasca-Gerakan 30 September. “Golkar harus berhadapan langsung dengan PKI,” ceritanya dengan nada yang penuh empati, seolah peserta ikut merasakan ketegangan itu.
Dengan kekuatan ABRI (kini TNI), birokrasi yang solid, dan semangat nasionalis, Golkar bangkit menjadi raksasa di era Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Dari Pemilu 1971 hingga 1997, partai ini tak tergoyahkan—selalu pemenang telak, simbol stabilitas di tengah hiruk-pikuk nasional.
Tapi, kisah Tony tak berhenti di sana. Ia melompat ke babak paling dramatis: Reformasi 1998. Saat Soeharto lengser, Golkar dihadapkan pada badai pembubaran. “Upaya untuk membunuh partai kami gagal total,” ujar Tony dengan senyum tipis, mengingatkan bagaimana Golkar bangkit dari abu. Justru di Pemilu 2004, partai ini kembali meraih kemenangan mutlak, membuktikan bahwa ideologi nasionalisnya tak lekang oleh zaman. Doktrin “Karya Siaga Gatra Praja”—siap sedia melayani rakyat—menjadi pondasi yang ia tekankan, sejalan dengan agenda nasional Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG) 2025.
Tony bukan sekadar narator sejarah; ia adalah bukti hidupnya. Sebagai kader yang telah menjabat anggota DPRD Lampung selama tujuh periode—rekam jejak yang jarang dimiliki siapa pun—ia telah melahirkan generasi penerus. Puluhan anak muda yang pernah berguru padanya kini duduk di kursi DPRD atau memimpin daerah.
Melalui perannya sebagai pimpinan organisasi Granat (Gerakan Anti Narkoba Anak Bangsa) dan FKPPI (Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan dan Putra-Putri TNI-Polri) Lampung, Tony telah membentuk kader militan yang tak hanya ambisius, tapi juga berkualitas. Namun, di balik karisma dan prestasinya, Tony menyisipkan pesan yang menusuk hati: Kritik pedas terhadap sikap arogan di kalangan pejabat baru. “Saya sedih jika melihat ada yang baru jadi anggota Dewan, sudah kepetantang-petenteng,” katanya dengan nada prihatin, membuat ruangan hening sejenak.
Menurutnya, jabatan publik bukanlah panggung untuk kesombongan, melainkan panggilan untuk merendahkan diri. “Sikap jumawa justru akan mempersingkat umur karir politik seseorang. Politik itu soal kepercayaan rakyat—rapuh seperti kaca, tapi bisa dibangun ulang dengan kerendahan-hati.”
Acara Diklat ini, yang juga dihadiri Ketua DPD Golkar Lampung Ir. H. Hanan A. Rozak, MS, menjadi pengingat bahwa Golkar tak hanya tentang kemenangan elektoral, tapi juga pembentukan karakter. Di tengah dinamika politik 2025 yang semakin kompetitif—dengan Pemilu mendatang di depan mata—Tony Eka Candra seperti mercusuar bagi kader muda: Ingatlah akar, jaga hati, dan layani dengan tulus. Apakah Tony akan terus ‘menghipnotis’ generasi berikutnya? Hanya waktu yang tahu. Tapi satu hal pasti: Di dunia politik yang sering kali kejam, suara lembut seperti miliknya adalah obat mujarab untuk jiwa yang lelah. Siapa tahu, pesan kerendahan-hati ini justru menjadi senjata rahasia Golkar untuk kembali berjaya.
[]